Tidak pernah ada yang mengharapkan datangnya suatu gangguan di dirinya, baik dari faktor internal maupun eksternal. Termasuk diantaranya sebuah realita yang bernama 'penyakit', seringan apapun itu. Mungkin lebih mudah menghadapi penyakit yang umum (baca: diketahui dan dimaklumi) oleh khalayak di sekitar kita. Penyakit-penyakit yang senantiasa ada dalam daftar pemeriksaan rutin seorang dokter dan bisa mendapatkan obatnya yang dijual bebas dimanapun. Lalu bagaimana dengan mereka yang mengalami sakit yang tidak bisa dilihat oleh mata? Tidak ada kerusakan di tubuh dan tidak ada luka? Hanya dialami oleh diri sendiri dan ..tragisnya...terkadang bila diceritakan pada orang lainpun akan sangat sulit untuk dipercaya.
Khalayak mengerti dan menerima makna dari kata phobia, namun dalam kenyataannya hal itu hanyalah sekedar pemahaman bahwa ada penyakit yang bernama phobia, ada orang yang takut pada situasi A, B, C dsb. Bagaikan sebuah teori yang dihafal oleh anak sekolah dasar, banyak pihak yang mengetahui namun tidak mau peduli pada si penderita.Hanya sekedar kasihan, dan bahkan banyak juga yang melecehkan seolah itu hanyalah masalah sepele yang seharusnya bisa ditanggung sendiri oleh penderita, mungkin yang ada dalam pikiran mereka pun hanyalah serangkaian implementasi masa bodoh.
Sebagian masalah phobia (mungkin) dianggap ringan oleh sebagian orang, seperti takut pada air, takut pada ketinggian, takut pada binatang tertentu. Banyak yang bilang hal seperti itu cukup ditanggulangi dengan cara menjauhi hal,atau benda,atau situasi yang menjadi penyebabnya. Lalu bagaimana bila phobia yang diderita adalah hal yang selalu datang secara instan dan tidak dapat dihindari seperti bayangan orang yang akan membunuh atau rangkaian rekaman satu peristiwa tatkala seseorang mengalami satu siksaan?
Tahukah anda, phobia adalah satu keadaan yang sangat menyiksa bagi penderitanya, saat gangguan itu datang penderita akan refleks gemetar, menangis, histeris, dan dalam kasus yang lebih parah penderita akan kesakitan luar biasa dan jatuh pingsan. Terkadang phobia juga bisa mengancam nyawa, bukan karena masalah phobianya itu sendiri, namun karena kepanikan yang timbul pada si penderita phobia yang menyebabkan dirinya tidak dapat mengontrol diri dan emosinya. Contoh kasus pada seorang penderita yang selalu dibayangi ketakutan akan adanya seseorang yang mengejarnya dan ingin membunuhnya, tentu saja itu hanya ada dalam pikirannya. Namun kemudian rasa takut itu datang ketika ia sedang berada di jalan raya, ia pun lari secepatnya tanpa mempedulikan keadaan sekitarnya,tak mempedulikan banyak kendaraan yang setiap saat bisa saja menabraknya. Takut karena hal yang ada dalam halusinasinya dan mengenyampingkan yang benar-benar nyata.
Saya beberapa kali berdialog dengan penderita phobia, dengan kasusnya masing-masing dan latar belakang penyebab yang berbeda-beda. Kesimpulan yang sama saya dapatkan dari semuanya, apapun bentuk phobianya akan memberikan dampak ketakutan yang sangat luar biasa pada penderitanya. Dan semuanya akan merasakan rasa sakit yang lebih dalam tatkala mereka menerima perlakuan tidak adil dari orang-orang di sekitarnya yang menganggap mereka aneh. Yang menganggap mereka cengeng,'cemen', seolah para penderita phobia hanyalah orang-orang manja yang tidak mampu mengatasi masalah mereka yang 'ringan'. Sesungguhnya apa yang dilihat oleh para penderita itu adalah nyata dalam pikiran mereka,mereka jujur menceritakan apa yang mereka alami. Sangat tidak adil kalau kemudian kita mentertawakan,melecehkan dan langsung menjudge bahwa mereka berbohong. Sikap demikian hanyalah akan membuat penderitaan mereka semakin berat.
Para penderita phobia ini terbagi dalam dua kelompok, kelompok pertama adalah mereka yang mau mengakui bahwa mereka 'sakit', untuk golongan ini akan lebih mudah diberikan pengobatan karena mereka mau terbuka.
Sedangkan kelompok kedua adalah mereka yang 'keukeuh' dengan pendapatnya kalau mereka itu benar, apa yang dialami oleh mereka adalah nyata dan justru orang-orang di sekitar mereka lah yang 'buta' dan tidak dapat merasakan apa yang mereka rasakan.
Untuk membantu para penderita phobia ini ( selain tindakan medis dari psikiater),adalah dengan ikut 'terjun' dalam dunia mereka, dalam arti kita datang sebagai teman (terlalu lebay kalau dibilang pahlawan) yang akan menemani mereka dan bisa memahami mereka. Menenangkan dan meyakinkan mereka bahwa mereka pasti 'selamat'. Untuk phobia pada satu benda atau situasi yang ringan mungkin lebih mudah, tahap awal kita bisa menjauhkan teman atau saudara kita yang takut pada ketinggian misalnya. Kita takkan mengajaknya ke tempat yang tinggi selama ketakutannya masih besar. Perlahan kemudian kita akan mengenalkannya lagi pada ketinggian, membantunya menghilangkan rasa takutnya, memberinya pandangan bahwa tinggi itu indah, pemandangan dari ketinggian itu menakjubkan.
Lalu bagaimana bila yang ia takutkan adalah penjahat sadis yang selalu siap membunuhnya? Tentu saja diperlukan ahli terapi untuk kasus yang berat seperti ini, namun tetap kita bisa meringankan bebannya dengan menjadi kawan terdekat dalam situasinya. Saya pernah berdialog dengan seorang ibu penderita phobia akut,keluarganya mengatakan bahwa orang tersebut sudah 13 tahun menderita halusinasi hebat, dalam pandangannya semua orang seolah akan membunuhnya, pun itu terjadi ketika ia mengobrol dengan saya. Ada satu saat ketika ia tiba-tiba teriak dan menunjuk pada satu sudut, ia katakan disana ada seorang pria yang mengacungkan goloknya padanya. Saya tidak melihat apa-apa pada sudut yang ia tunjukkan. Melihat beliau histeris saya sempat bingung,namun lalu perlahan saya katakan padanya (dengan perjuangan keras untuk bisa tenang)..saya bilang "Oh iya bu, tapi bukan mau kesini kok, lihat di tangan kanannya ada ayam, dia mau nyembelih ayam", diluar dugaan ternyata perkataan saya dapat sedikit menenangkan ibu itu, memang sedikit terkesan seperti menghadapi anak kecil. Dan ternyata berdasarkan 'investigasi' saya yang awam ini, satu 'kesalahan' yang sering dilakukan keluarganya pada si ibu tersebut adalah dengan menyalahkannya tatkala beliau berhalusinasi, banyak anggota keluarganya yang to the point langsung mengatakan bahwa beliau berhalusinasi, mengkhayal dan yang lebih ekstrem suaminya pernah pula mengatakan "Kamu sakit jiwa!". Hal seperti itu tidak dapat diterima oleh si penderita, penderita akan berontak dan selalu menyanggah. Tindakan pengobatanpun akan sulit dilakukan karena penderita tidak merasa dirinya sakit. Perlu pendekatan dan kesabaran ekstra menghadapi penderita phobia dalam kasus seperti ini. Dokter ahli jiwa pun saya rasa akan melakukan tindakan yang sama, pendekatan yang komunikatif secara perlahan. Jadi kunci awalnya adalah kesabaran dan pemahaman. Tindakan terapi dari ahli jiwa takkan memberikan efek maksimal tanpa dukungan keluarga dan orang-orang di sekitarnya.