Rabu, 01 Juni 2011

Indahnya Ikhlas

Ikhlas...sesuatu yang sangat berat untuk dijalani. Aku tak punya kata yang tepat untuk mendefinisikan ataupun memaparkannya dengan jelas ataupun indah.  Hanya ingin bercerita semua yang kurasakan tentang kata yang bernama ikhlas ini. Hanya sarana bagi diriku untuk flashback dan memajukan langkahku lagi. Namun bila memang ada sahabatku merasa senasib dan termotivasi tentunya itu merupakan kebahagiaan tersendiri untukku.

     Cerita tentang seorang istri dan dua putri yang ditinggal menikah lagi oleh suaminya. Saat anak tangga yang ingin dipijak dalam rumah tangga hampir mencapai puncaknya. Saat jalan yang direncanakan untuk dilalui hampir mendekati tujuannya. Aku juga manusia biasa, tangis itu hadir hampir setiap malam saat menyadari diri ini tanpa pasangan hidup lagi. Rasa iri itu mendera saat melihat pasangan lain terlihat mesra dan bahagia. Lebih luka lagi saat menyadari ada dua nyawa lain yang juga ikut terseret dalam duka. Anak-anakku...
Dan aku bukan wonder woman, kesadaran untuk menegakkan kembali tangga yang telah jatuh mengalami perjalanan yang panjang sebelum menyentuh pikiran ini. Butuh waktu yang sangat lama pula untuk mengusir rasa marah yang sangat betah di hati ini. Dan baru sekarang aku merasakan kebenaran kata-kata bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Pelajaran yang didapat dari SD hingga kuliah dan baru disadari saat umur ini bergelar tua. Saat akhirnya diri ini berhasil pelan-pelan mengusir rasa egois.
       Rencana Tuhan selalu indah, Tuhan gakan pernah membiarkan umat-Nya menanggung cobaan yang terlalu berat untuk dipikulnya. Dibalik rasa sakit karena satu orang Tuhan memberiku kebahagiaan lain lewat banyak orang. Keluarga dan sahabat-sahabatku. Yang menyumbang keping demi keping semangat hingga terbentuk utuh memaksa kaki ini untuk berdiri. Hidup terlalu berharga dan terlalu singkat kalau hanya untuk ditangisi. Luka itu harus dilenyapkan, bukan hanya diobati namun meninggalkan bekas. Aku mulai bangkit dan bersemangat lagi menjalani hidup dengan dorongan spirit dari keluarga dan sahabat-sahabatku. Mencoba melupakan segala kesedihan.
       Bukan hal mudah bagi istri yang disakiti untuk kembali menjalin komunikasi dengan mantan suami yang telah berpaling, namun itu tetap harus dilakukan demi anak-anakku. Hubungan darah tak akan pernah bisa diputuskan, seorang ayah tetaplah bagian dari hidup mereka. Dan yang terpenting anak-anakku tak pernah boleh mengenal kebencian atau dendam.
Pelan-pelan, aku terus memandu anakku untuk terus bersemangat dalam menjalani hidup, untuk lebih melihat sisi positif yang bisa diambil dalam langkah mereka. Sisi negatif bukan untuk dilupakan, namun tetap harus dilihat sebagai penyeimbang dan pelajaran tentang efek dari suatu tindakan. Sangat berat rasanya mencoba mengajarkan anak-anak agar mau menerima ibu tiri mereka, agar mau menghargainya sebagai ibu kedua mereka. Menyadarkan bahwa tetaplah semuanya terjadi dengan ijin Tuhan, bahwa memang harus hadir seorang istri baru di kehidupan ayah mereka. Bahwa kemudian memang rencana Tuhan untuk menghadirkan seorang adik lagi. Aku tak pernah mau mengajarkan sebuah kata 'tiri', kuajarkan anakku untuk ikhlas menerima adiknya sebagai seorang saudara. Makhluk lain yang dihadirkan Tuhan pasti dengan maksud yang baik. Dan persaudaraan akan lebih indah tanpa terhalang status yang bernama kandung atau tiri.
                Pelajaran lainnya, kuajarkan anakku untuk memandang ayah mereka hanya dalam lingkup sebuah hubungan darah, penghormatan, dan tugas seorang anak yang harus berbakti pada orangtuanya. Bukan pada sisi materi. Urusan harta biarlah menjadi tanggung jawab ayah mereka dengan Tuhan, Tuhan menyayangi kita dengan cara-Nya, dan rejeki dialirkannya melalui seribu jalan, bukan hanya dari ayah mereka. Aku tak mau anakku jadi seorang penuntut.
              Aku coba mengakrabkan anakku dengan ibu dan adik barunya, bukan hal mudah. Untuk berbicara lewat telpon pun kadang harus kupaksa. Diawali dengan hal-hal kecil seperti mengucapkan selamat ulang tahun, berlanjut obrolan dan kata maaf di hari Raya. Hingga saling mengirimkan hadiah saat ada kelebihan rejeki.
              Syukurlah melalui proses yang cukup panjang anakku bisa menerima semua kenyataan dan kembali dapat fokus dalam pelajaran sekolah mereka. Tak ada lagi rasa marah atau luka di sinar matanya. Akupun ikut bahagia mendengar anakku ikut berempati dan khawatir bila adik barunya sakit.
Masih panjang proses yang harus dilalui, masih banyak pembelajaran yang harus dicari. Tapi dengan keikhlasan beban hidup ini dapat lebih ringan. Aku berani bilang bahwa kalimat 'semua manusia adalah saudara' bukan kalimat yang klise.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar