Kamis, 16 Juni 2011

Ketika Habis Manis Permen Karet Dibuang....

Prihatin menyadari banyak sekali insan yang menilai suatu hubungan hanya berdasarkan suatu perhitungan untung dan rugi, mengutamakan keuntungan dan 'hal enak' yang bisa didapatkan dari hubungan itu. Ketulusan dan rasa empati mungkin hanya tinggal barisan kata di buku agama dan PPKN (dulu jaman saya PMP) anak SD. Sekedar teori yang harus dihafalkan tanpa implementasi. Kenyataannya dalam kehidupan yang sebenarnya orang akan bermuka manis pada pihak yang bisa memberinya atau membawanya pada surga duniawi, dan memandang sebelah mata nyaris melecehkan pada sebuah ketulusan dan etika.
Hidup memang satu perjuangan, dan butuh kerjasama untuk mengejar cita-cita, harapannya sih seperti teori di buku-buku, kita harus bahu membahu, saling tolong menolong, dengan keluarga, teman, sahabat, saudara, hingga akhirnya semua bisa meraih apa yang diimpikannya di dunia ini, dan setelah semua tercapai hendaklah saling membantu lagi pada sesama yang membutuhkan....manis ya sebuah teori. Nyatanya..hidup adalah perlombaan, siapa yang kuat dia yang menang, saling membantu tidak ada lagi ketulusan, hanya sekedar mengintip keuntungan yang bisa didapat dan setelah itu lari. Lebih banyak orang yang tidak peduli pada sesamanya, materi dianggap sebagai sahabat terbaik.
Ngapain saya ngomel panjang lebar begini? Hanya mencoba menyimpulkan banyak berita yang saya baca di media, dimix dengan pengalaman saya sendiri . Sedih sekali bahwa ternyata hal tersebut juga terjadi pada saya sendiri, kebahagiaan bertemu sahabat lama langsung sirna dalam waktu singkat, karena sahabat tersebut (mungkin...) sudah tak dapat lagi mencari celah di diri saya yang dapat memberinya keuntungan (baca: plus kesenangan). Rasanya ingin kembali menjadi anak kecil lagi, saat obrolan dengan teman adalah tentang bermain, hal-hal ringan yang selalu membawa tawa. Kalaupun dalam permainan nanti ada yang menang dan yang kalah hanya disikapi dengan tertawa dan dalam hitungan menit sudah dilupakan dan kembali bermain bersama. Sedangkan yang baru saja saya alami dalam usia dewasa ini, sang sahabat hanya berbasa basi menyatakan kangen..lalu pembicaraan langsung mengarah ke bisnis, obrolan demi obrolan saya rasakan dia ingin mengorek apa yang bisa saya lakukan di bisnis itu, berapa kira-kira modal yang bisa saya keluarkan, berapa kira-kira keuntungan yang bisa dia dapat...dan tatkala dirasakan bahwa takkan banyak yang bisa didapatkan dari saya diapun menghilang ditelan bumi. Sementara saya masih terkenang indahnya persahabatan jaman sekolah dulu dengannya, yang langsung berganti dengan rasa sakit.
     Namun rasa sakit itu tak sebanding dengan sakit hati yang sedang dialami salah seorang teman, yang harus kehilangan istrinya setelah dia tak lagi berpredikat 'kaya', sang istri yang selalu dibanggakannya ternyata hanya tulus mendampingi hartanya dan bukan dirinya. Cerita klise...Biasanya saya hanya dapat berucap prihatin andai hal seperti itu hanyalah satu berita yang saya tonton di tv, atau curhatan orang lain di majalah wanita. Namun karena tengah terjadi pada teman saya sendiri akhirnya saya pun mengelus dada.
Tentu saja tidak semua orang seperti itu, masih banyak orang yang mendapatkan karunia mempunyai hati yang tulus. Yang memandang suatu hubungan real sebagai suatu silaturahmi. Yang tak pernah ambil pusing dengan sebuah hitungan angka (baca lagi; uang). Semoga saya bisa berjuang menjadi orang seperti itu. Harta memang perlu dicari, dan bukankah rejeki tiap orang telah diatur oleh Dia yang maha kaya? Tak akan pernah tertukar, dan tak perlu berpikir pendek dan mencari jalan pintas untuk mencarinya.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar